PAY-FOR-PERFORMANCE
Sejak awal tahun
1980-an, perusahaan berusaha mengendalikan gaji ‘yang hilang’ dengan menerapkan
sistem pay-for-performance, perusahaan lebih memilih untuk memberikan
penghargaan kepada individu yang bekerja sangat baik melalui bonus daripada
menaikkan gaji bulanan. Strategi pay-for-performace ini juga memungkinkan
manajemen untuk menekan biaya buruh sekaligus memotivasi pekerja untuk bekerja
lebih keras.
Seperti General
Motors (GM), misalnya. Perusahaan ini berpendapat bahwa,” agar dapat
memperrlakukan orang secara adil, kamu harus memperlakukan orang dengan cara
berbeda-beda.” Saat ini GM membuat rangking untuk pekerjannya. Manajer membuat
daftar karyawan yang masuk ke dalam 10% teratas, 25%, 55%, dan 10% terbawah.
Dengan demikian, pendapatan pekerja tergantung pada keberhasilan individu.
Biasanya bila
pekerja melakukan tugasnya dengan baik, ia akan menerima gaji yang lebih
tinggi. Kenaikan ini dibagi per bulan hingga kenaikan berikutnya. Hal ini dapat
menambah beban perusahaan karena tunjangan dan pensiun terkait dengan gaji.
Bila gaji naik, maka yang lain akan naik dan menambah beban perusahaan.
Dengan adanya
pay-for-performance, bonus yang diterima pekerja bertambah, namun gajinya tetap
tetap. Tunjangan dan pensiun tidak ikut naik karena bonus tidak terkait dengan
gaji. Lagipula, bonus dapat terlihat lebih berharga karena bonus Rp 1,2 juta,
misalnya, lebih kelihatan besar daripada kenaikan gaji Rp 100,000 per bulan.
Pemberian bonus
juga lebih fleksibel, bila perusahaan dalam kondisi baik, perusahaan dapat
memberikan bonus yang lebih tinggi, namun bila perusahaan dalam kondisi kurang
menguntungkan, maka karyawan dapat memahami kondisi tersebut. Pekerja yang
melakukan tugasnya dengan sangat baik juga dapat menerima bonus yang sangat
besar sementara mereka yang tidak bekerja dengan baik tidak akan menerima bonus
sama sekali.
Sumber: Wahyu Adji dkk, Ekonomi SMA Kelas XI (Erlangga:2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar