Rabu, 14 Maret 2012

PEMBUKTIAN DALAM PERADILAN


BAB I
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pembuktian
Yang dimaksud dengan pembuktian adalah menyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan di muka sidang dalam suatu persengketaan. Jadi membuktikan itu hanyalah dalam hal adanya perselisihan sehingga dalam perkara perdata di muka pengadilan, terhadap hal-hal yang tidak di bantah oleh pihak lawan, tidak memerlukan untuk dibuktikan.[1]
 Menurut Roihan A. Rasyid berpendapat bahwa alat bukti atau pembuktian adalah alat atau upaya yang bisa dipergunakan oleh pihak-pihak yang berperkara untuk menyakinkan hakim di muka pengadilan. Di pandang dari sudut hakim memeriksa perkara, alat bukti artinya alat atau upaya yang bisa dipergunakan oleh hakim untuk memutus perkara. Jadi alat bukti tersebut dapat dipergunakan oleh pencari keadilan dan pengadilan.[2]
 Tujuan pembuktian adalah untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar – benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil.[3] Hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan sebelum  nyata baginya bahwa fakta atau peristiwa yang diajukan itu benar – benar tejadi, yakni dibuktikan kebenarannya, sehingga Nampak adanya hubungan hukum antara para  pihak.
A.    Bukti Surat
Alat bukti surat-surat atau tulisan ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk menyampaikan buah fikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Dengan demikian maka segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan, atau meskipun memuat tanda-tanda bacaan akan tetapi tidak mengandung buah fikiran, bukanlah termasuk pengertian alat bukti tertulis atau surat-surat.[4]
Dalam praktek di pengadilan dalam peradilan agama. Alat-alat bukti yang diterapkan adalah sama dengan yang diatur dalam pasal 138, 164, 165, 167 HIR (Pasal 285-305 Rbg, Pasal 1867-1894 BW). Akta sebagai alat bukti diakui keberadaanya oleh hakim-hakim  pada peradilan agama. Sebab Al-Qur’an mengakui keberadaan akta (surat) ini sebagai alat bukti, sebagai mana dalam surat Al-Baqarah ayat 282, yang artinya:
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalat (melakukan hubungan-hubungan keperdataan) tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seseorang menulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah menulis engan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlaknya (mendektekan atau membacakannya) apa yang akan ditulis itu dan hendaklah ia bertaqwa kepada tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau (keadaanya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur”.[5]
Surat-surat sebagai alat bukti tertulis terbagi kepada “akta” dan “selain akta”. Akta ialah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani. Contoh akta ialah surat perjanjian jual-beli, surat perjanjian sewa-menyewa, kuitansi pembayaran, akta nikah dan lain-lain, karena ia dibuat untuk bukti dan ditandatangani.
     Akta itu terbagi mnjadi “akta otentik” dan “akta bukan otentik”
a.       Akta Otentik
Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu, menurut ketentuan tertentu yang telah ditetapkan. Sebagai pejabat yang berwenang yang dimaksudkan adalah Notaris, Juru Sita, Panitera dan Hakim Pengadilan, Pegawai Catatan Sipil, Pegawai Pencatat Nikah (PPN), Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dan lain-lain.
Menurut pasal 1868 BW, akta otentik tersebut ada yang dibuat “oleh pejabat yang berwenang” dan ada yang dibuat “di hadapan pejabat yang berwenang”. Dibuat “oleh” apabila pejabat yang berwenag tersebut membuat tentang apa yang dilakukannya, misalnya juru sita pengadilan membuat berita acara pemangilan pihak-pihak berperkara. Dibuat “dihadapan” ialah apabila pejabat yang berwenang tersebut menerangkan apa yang dilakukan oleh orang lain tersebut dan sekaligus meletakkannya didalam suatu akta.
Akta otentik mempunyai kekuatan bukti yang sempurna atau mengikat, baik bagi pihak-pihak maupun bagi ahli warisnya atau bagi orang-orang yang memperoleh hak daripadanya, artinya hakim harus menganggapnya benar serta tidak memerlukan pembuktian lain, kecuali memang dapat dibuktikan tentang ketidak benarannya (tentunya denga alat bukti lain dan alasan yang lebih kuat).
b.      Akta di Bawah Tangan (Akta Bukan Otentik)
Akta dibawah tangan atau akta bukan otentik adalah segala tulisan yang memang sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tetapi tidak dibuat dihadapan atau oleh pejabat yang berwenang untuk itu dan bentuknya pun tidaklah pula terikat kepada bentuk tertentu.
Kekuatan akta bukan otentik, hakim menilainya bebas, akan tetapi jika akta yang bersifat dibuat oleh ke dua belah pihak, seperti jual beli tanah yang bukan otentik, apabila tanda tangan yang tercantum di dalamnya diakui oleh pihak yang menandatanganninya maka akta tersebut mempunyai kekuatan sama dengan akta otentik, tetapi tetap masih mempunyai perbedaan dengan akta otentik. Akta otentik berlaku bagi ke dua belah pihak, bagi pihak ketiga dan bagi siapapun juga, sedangkan akta di bawah tangan tadi hanya berlaku bagi kedua belah pihak, bagi ahli warisnya dan bagi orang yang memperoleh hak daripadanya, tidak untuk pihak ke tiga dan semua oarng lainnya.[6]
B.     Saksi
1.      Pengertian Kesaksian
Sudikno Mertokusumo berpendapat, bahwa kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan mengenai peristiwa yang disengketakan dengan jalan memberitahukan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dipersidangan.
Dalam Hukum Acara Perdata Islam kesaksian disebut “syahadat” yang berasal dari kata “ Musyahadah “, yaitu menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Syahadah dibedakan antara “ Syahid “ (saksi laki-laki) dan “ Syahidah “ (saksi perempuan).
Kebanyakan ahli hukum islam menyamakan “Syahadah” (kesaksian) dengan “Bayyinah” (alat-alat bukti). Apabila kesaksian disamakan dengan alat-alat bukti, berarti pembuktian dimuka peradilan islam atau peradilan agama hanya mungkin dengan saksi saja, sebab Rasulullah SAW mengatakan “ al bayyinatu ‘ala al mudda’l wa al yamin ‘ala man ankar”, yang artinya jika bayyinah diartikan sebagai kesaksian “saksi dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan kepada tergugat”.[7]
Jadi saksi ialah orang yang memberikan keterangan dimuka sidang, dengan memenuhi syarat – syarat tertentu, tentanh suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri sebagai bukti terjadi peristiwa atau keadaan tersebut.[8]
2.      Syarat Saksi dan Kesaksiannya
Seorang saksi di dalam memberikan keterangan atau kesaksiannya harus terang dan jelas, serta kesaksiannya itu merupakan mengenai peristiwa yang dialami sendiri dan bukan diperoleh atau didengar oleh orang lain.
Saksi disyaratkan seseorang yang telah dewasa dan berakal sehat serta adil. Disyaratkan saksi yang telah dewasa dan berakal sehat telah dapat mempertanggung jawabkan segala ucapan dan perbuatannya secara mandiri dihadapan tuhan. Demikian pula saksi yang disyaratkan seorang yang adil, sebab keadilan para saksilah yang menyebabkan hakim menerima atau menolak kesaksian.
Seorang saksi juga disyaratkan beragama islam, namun dalam perkara tertentu dalam AL-Qur’an  Surat Al-Baqoroh ayat 282 yaitu,” dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki (diantaramu), juga dalam Surat Al-Maidah ayat 106 yaitu: “ jika kamu menghadapi kematian, sedang kamu akan berwasiat, maka hendaklah (wanita itu) disaksikan dua orang yang adil diantara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi (musyafir) lalu kamu ditimpa bahaya kematian”.
Yang dimaksud dengan kata “diantaramu” dalam Al-Qur’an tersebut adalah orang-orang yang beragama islam, jadi pada hakekatnya seorang saksi harus berasal dari golongan orang-orang islam, kecuali terhadap perkara wasiat dalam perjalanan diperbolehkan penggunaan saksi yang tidak beragama islam.[9] Bukti saksi diatur dalam pasal 168 – 172 HIR/ pasal 165 – 179 RBg.
3.      Variasi Alat Bukti Saksi
Hukum asal saksi sebagai alat bukti, cukup 2 orang lelaki sebagaimana sudah dijelaskan, tetapi dalam bebeapa jenis perkara, nampaknya alat bukti ini bervariasi, seperti:[10]
a)      Dalam perkara zina atau tuduhan zina, saksinya 4 oarang lelaki yang beragama islam.
b)      Jika menuduh istri sendiri telah berzina (tidak berlaku bagi tuduhan terhadap perempuan selain istri) tetapi tidak mampu mendatangkan 4 orang saksi lelaki yang beragama islam, dapat dibuktikan dengan suami mengucapkan sumpah li’an.
c)      Pembuktian saksi bagi wasiat harta dalam perjalanan (musafir) oleh 2 orang lelaki yang beragama islam, atau oleh seorang lelaki bersama 2 orang perempuan beragama islam semua, atau boleh oleh 2 orang lelaki yang bukan beragama islam, atau oleh seorang lelaki bersama 2 orang perempuan yang semuanya bukan beragama islam.
d)     Pembuktian perkara hudud selain zina, termasuk hudud qisas badan atau qisas jiwa, dengan 2 orang saksi lelaki yang beragama islam.
e)      Pembuktian saksi yang terdiri cukup oleh seorang lelaki bersama 2 orang perempuan yang beragama islam, yaitu dalam perkara harta benda, perkawinan, wasiat, hibah, waqaf, iddah, perwakilan, perdamaian, pengakuan, pembebasan, dll.
f)       Pembuktian dengan perempuan semua, 2 orang atau 4 orang dalam perkara-perkara yang lazimnya hanya diketahui leh perempuan, seperti tentang keperawanan, susuan,dll.
Dasar yang mengatakan dengan 2 orang perempuan karena di jenis perkara seperti itu pengetahuan perempuan sama dengan pengetaahuan lelaki sedangkan dasar yang mengatakan 4 orang perempuan karena Rasulullah SAW mengatakan bahwa
kesaksian perempuan setengah kesaksian lelaki.
g)      Pembuktian dengan seorang saksi ditambah sumpah dari pihak yang memiliki saksi itu (al yamin ma’a asy syahid).
h)      Ada pula ahli hukum islam yang membolehkan pembuktian dengan seorang saksi saja, yaitu dalam kesaksian awal bulan ramadhan.
i)        Ada pula ahli hukum islam yang membolehkan pembuktian hanya denga seorang perempuan saja terdapat jenis-jenis perkara yang tersebut di butir f diatas.[11]
4.      Sumpah Bagi Saksi
Menurut Mazhab Hanafi, seorang saksi sebelum memberikan kesaksiannya tidak perlu lagi disumpah, sebab lafal kesaksiannya itu sendiri mengandung arti sumpah, yaitu didalamnya terkandung kata “billahi” (demi Allah).
Mazhab Maliki dan sebagian ahli hukum islam lainnya membolehkan saksi itu disumpah. Mengingat keadilan saat ini telah banyak diragukan. Sehingga kesaksiannya perlu dikuatkan dengam sumpah. Demikian pula Ibnu Al-Qoyyim al Jauziyah membolehkan hakim menyuruh saksi untuk bersumpah jika ia ragu-ragu akan kebenaran keterangan saksi.
Mengingat saksi dalam pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama mungkin saja bukan orang islam seperti dalam perkara wasiat dalam perjalanan, maka lafad sumpah harus dilakukan menurut agamanya masing-masing. Menurut agama islam redaksi sumpah itu harus mengandung kata “billahi” (demi allah) dan bukan lainnya.
Dalam pemeriksaan saksi dipersidangan, hakim harus memisahkan masing-masing saksi, sehingga antara saksi dengan saksi lainnya tidak akan saling mendengar.dalam peradilan islam, Khalifah Ali bin Abi Thalib lah yang pertama kali melakukan pemeriksaan terhadap saksi tidak bersama-sama, melainkan memeriksanya satu demi satu. Ibnu Al Qoyyim dalam hal ini juga membolehkan hakim memisah pemeriksaan terhadap saksi-saksi yang demikian tersebut.[12]
5.      Nilai Kekuatan Pembuktian Saksi
Pada umumnya nilai kekuatan pembuktian dari alat bukti saksi dalam Hukum Acara Perdata Islam adalah bebas, dalam arti terserah kepada hakim, apakah ia akan mempercayainya atau tidak.[13]
Demikian pula yamin (sumpah) dan nukul (menolak sumpah) dimasukkan kedalam alat bukti sumpah, sebab pada hakekatnya nukul itu tidak lain berkaitan dengan sumpah, sedangkan qasamah (bersumpah 50 orang) tidak dimasukkan dalam alat bukti sumpah, sebab biasanya digunakkan dalam perkara pidana islam, sehinga idak ada relevansinnya dengan kompetensi peradilan agama di Indonesia. Disamping itu dimasukkan pula sumpah lian sebagai bagian dari alat bukti sumpah.
Alat bukti lain yang berlaku di Peradilan Agama adalah pemeriksaan setempat (descente) dan ketereangan ahli (ekspertise). Dasar pemeriksaan setempat sebagai alat bukti adalah berdasarkan qiyas ( analogi ) terhadap pasal 153 HIR (pasal 180 Rbg) dan untuk kebutuhan praktik pengtadilan.
Penerappan alat – alat bukti tersebut oleh peradilan agama yang sesuai dengan peradilan umum, pada hakekatnya tidak bertentangan dengan hukum acara perdata. Menurut Hasbi Ash Shiedieqy alat bukti yang terpokok yang diperlukan dalam soal gugat menggugat hanya 3 saja yaitu:[14]
a.       Iqrar (pengakuan)
b.      Syahadat (kesaksian)
c.       Yamin (sumpah)

c.      Bukti Persangkaan
Persangkaan ialah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dikenal atau dianggap terbukti kearah suatu peristiwa yang tidak dikenal atau belum terbukti, baik yang berdasarkan undang – undang atau kesimpulan yang ditarik oleh hakim.[15] Persangkaan diatur dalam pasal 173 HIR, 1916 BW.
Ada 2 macam bentuk persangkaan:[16]
a.       Persangkaan yang berupa kesimpulan berdasarkan undang – undang.
b.      Persangkaan yang berupa kesimpulan yang ditarik oleh hakim dari keadaan yang timbul dipersidangan.
Syarat – syarat bukti persangkaan hakim
Persangkaan merupakan dugaan hakim, tentang dugaan hakim dan kesimpulan yang ditarik hakim maka ada lima syarat yaitu:
1.      Dugaan menggenai suatu kejadiaan harus didasarkan atas hal – hal yang telah terbukti.
2.      Hakim harus berkeyakinan bahwa hal – hal yang telah terbukti itu dapat menimbulkan dugaan terhadap terjadinya sesuatu peristiwa yang lain.
3.      Hakim dalam mengambil dari bukti – bukti itu tidak boleh mendasarkan keputusannya atas hanya satu dugaan saja.
4.      Dugaan atau pers angkaan itu harus bersifat penting, seksama, tertentu dan ada hubungannya satu sama lain.
5.      Persangkaan semacam ini hanya boleh diperhatikan dalam hal undang – undang membolehkan pembuktian dengan saksi.
D.    Bukti pengakuan
Pengakuan adalah pernyataan seseorang tentang dirinya sendiri, bersifat sepihak dan tidak memerlukan persetujuan pihak lain.[17] Pengakuan sebagai alat bukti diatur dalam pasal 174, 175, 176 HIR, pasal 311, 312, 313 Rbg dan pasal 1923 – 1928 BW.
Dasar Pengakuaan sebagai alat bukti menurut acara peradilan peradilan islam antara lain: surat an Nisa’ ayat 135 yanng artinya, “hai orang – orang yang beriman, jadilah kamu orang – orang yang benar – benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri” .  orang menjadi saksi atas dirinya sendiri adalah dengan pengakuan.[18]
Pengakuan menurut hukum acara perdata islam adalah alat bukti yang terkuat. Pengakuan dapat diberikan dimuka hakim dipersidangan atau diluar persidangan. Selain itu, pengakuan dapat pula diberikan secara tertulis maupun lisan didepan sidang.ada beberapa macam bentuk pengakuan yaitu:[19]
a.       Pengakuan murni dimuka sidang
Pengakuan murni ialah pengakuan yang bersifat sederhana dan sesuai sepenuhnya dengan tuntutan pihak lawan. Pengakuan  merupakan pernyataan yang tegas. Pengakuan murni dimuka sidang merupakan bukti yang sempurna terhadap yang melakukannya, dan bersifat menentukan karena tidak memungkinkan pembuktian lawan.
b.      Pengakuan dengan kualifikasi
Pengakuan dengan kualifikasi ialah pengakuan yang disertai dengan sangkalan terhadap sebagian dari tuntutan. Pengakuan yang seperti ini haruslah diterima seutuhnya dan tidak boleh dipisah – pisahkan sehingga merugikan pihak yang member pengakuan.
c.       Pengakuan dengan clausula
Pengakuan dengan clausula adalah suatu pengakuan yang disertai dengan keterangan tambahan yang bersifat membebaskan.
d.      Pengakuan tertulis
Ada dua kemungkinan dalam pengakuan yang diberikan secara tertulis oleh tergugat:
1.      Tergugat hadir didepan sidang dan
2.      Tergugat tidak hadir didepan sidang
Apabila tergugat hadir didepan sidang dan memberikan pengakuan secara tertulis maka dapat dikategorikan kepada tiga macam pengakuan tersebut yaitu:
1.      Pengakuan murni
2.      Pengakuan dengan kualifikasi
3.      Pengakuan dengan clausula
e.       Pengakuan lewat kuasa hukum/ wakil
Pengakuan yang diberikan lewat kuasa hukum/ wakil yang memang dikuasakan untuk itu, nilainya sama dengan pengakuan yang diberikan oleh tergugat pribadi.
f.       Pengakuan lisan diluar sidang
Yaitu suatu pengakuan yang diucapkan oleh salah satu pihak dalam perkara perdata untuk membenarkan pernyataan yang diberikan oleh pihak lawannya.
g.      Pengakuan dalam sengketa perkawinan
Dalam sengketa perkawinan, pengakuan pihak mempunyai spesifikasi tersendiri dalam dalam hukum pembuktian, lebih – lebih lagi dalam perkara perceraian.[20]
E.     BUKTI SUMPAH
Sumpah ialah suatu pernyataan yang diberikan atau di ucapkan pada waktu member janji atau keterangan dengan mengingat sifat maha kuasa tuhan dan percaya bahwa siapa yang member keterangan atau janji yang tidak benar akan di hukum olehnya.[21]
Ada dua (2) macam sumpah:
1.      Sumpah/ janji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang disebut sumpah promissoir.
2.      Sumpah/ janji untuk memberi keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu itu benar demikian atau tidak benar, yang disebut sumpah assertoir atau confirmatoir.
Sumpah promissoir dilakukan oleh saksi atau ahli (juga juru bahasa dan hakim), dengan ciri-ciri:
a.       Sumpah diucapkan sebelum mereka memberikan keterangan / melakukan sesuatu.
b.      Sumpah berfungsi sebagai syarat formil sahnya suatu keterangan / tindakan.
c.       Sumpah ini bukan merupakan alat bukti.
d.      Sumpah ini tidak mengakhiri sengketa.
Sumpah assertoir (confirmatior) dilakukan oleh para pihak dalam perkara, dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a.       Sumpah diucapkan sesudah mereka memberi keterangan atau melakukan sesuatu.
b.      Sumpah berfungsi untuk meneguhkan suatu peristiwa atau hak.
c.       Sumpah ini termasuk alat bukti.
d.      Sumpah mengakhiri sengketa.[22]
Rincian Macam-Macam sumpah Promissoir dan sumpah Assertoir.
a.  Sumpah Promissoir
1)      Sumpah Jabatan
2)      Sumpah Pegawai Negeri Sipil
3)      Sumpah Saksi
4)      Sumpah Ahli
5)      Sumpah Tolk (juru bahasa)
6)      Sumpah Hakam[23]
b. Sumpah assertoir (confirmatoir)
1)      Sumpah Suppletoir (pelengkap)
2)      Sumpah decissoir (pemutus)
3)      Sumpah Penaksir
4)      Sumpah Li’an
5)      Sumpah Istidhhar (Yaminul istidhhar)[24]
Pembuktian dengan sumpah
1. Tata cara sumpah Suppletoir
            Sumpah suppletoir adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak yang berperkara untuk melengkapi pembuktian peristiwa atau hak yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya.[25]
Sumpah dilakukan dengan tata cara yang diatur dalam pasal 157,158 HIR sebagai berikut:
a.       Sumpah harus dilakukan di depan sidang pengadilan
b.      Pada sidang pengucapan sumpah harus dihadiri oleh pihak lawan, kecuali dalam hal pihak lawan telah dipanggil untuk itu tetapi tidak hadir tanpa alasan yang sah dan tidak pula mewakilkan kepada orang lain untuk hadir.
c.       Sumpah harus diucapkan sendiri oleh pihak yang bersangkutan atau oleh wakilnya.
d.      Bunyi sumpah harus sesuai dengan yang diperintahkan oleh hakim.
          Kekuatan pembuktian sumpah suppletoir bersifat:
a.       Menyelesaikan perkara
b.      Memiliki kekuatan pembuktian sempurna
c.       Masih memungkinkan adannya bukti lawan
d.      Dapat dibatalkan dengan putusanhakim yang lebih tinggi
e.       Apabila sumpah itu terbukti palsu, maka dapat dijadikan alasan mohon peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.[26]
2.  Tata cara sumpah decisoir
            Sumpah decisoir adalah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak kepada lawannya (pasak 156 HIR, pasal 183 RBg, pasal 1930 BW)
Syarat-syarat dapat dikabulkan permintaan sumpah decisoir, ialah:
a.       Dapat dikabulkan mengenai berbagai hal peristiwa yang menjadi sengketa.
b.      Bukan mengenai pelbagai pendapat tentang hukum atau hubungan hukum.
c.       Harus mengenai perbuatan yang dilakukan sendiri oleh pihak yang disuruh bersumpah atau bersama-sama pula dengan pihak yang meminta sumpah.
d.      Bunyi sumpah harus sesuai dengan hal/peristiwa yang menjadi sengketa, sehingga benar-benar bersifat memutus.
Sumpah dilakukan menurut tatacara yang diatur dalam pasal 157,158 HIR/185 RBg sebagai berikut:
a.       Sumpah harus dilakukan di depan sidang pengadilan, kecuali dalam hal hakim, atas permintaan deferent atau kuasannya, menetapkan lain.
b.      Sumpah harus diucapkan sendiri oleh delaat, kecuali jika diwakilkan kepada orang lain.
c.       Bunyi sumpah harus sesuai dengan yang diminta deferent.
d.      Pengucapan sumpah harus dihadiri pihak lawan, kecuali dalam hal telah dipanggil dengan patut namun tidak hadir dalam sidang tanpa sesuatu alasan yang sah.[27]
BAB II
KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
1.      pembuktian adalah menyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan di muka sidang dalam suatu persengketaan. Jadi membuktikan itu hanyalah dalam hal adanya perselisihan sehingga dalam perkara perdata di muka pengadilan, terhadap hal-hal yang tidak di bantah oleh pihak lawan, tidak memerlukan untuk dibuktikan.
2.   Alat bukti surat-surat atau tulisan ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk menyampaikan buah fikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.
3.    Dalam persaksian terdapat hal-hal berikut:
a.       Syarat saksi dan kesaksiannya
b.      Kewajiban saksi
c.       Golongan yang dianggap tidak mampu menjadi saksi
d.      Variasi alat bukti saksi
e.       Sumpah bagis saksi
f.       Nilai kekuatan pembuktian saksi.
4.      Ada 2 macam bentuk persangkaan:
a.       Persangkaan yang berupa kesimpulan berdasarkan undang – undang.
b.      Persangkaan yang berupa kesimpulan yang ditarik oleh hakim dari keadaan yang timbul dipersidangan.





DAFTAR PUSTAKA

Arto, Mukti. Peraktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.

Mansur, Afandi. Peradilan Agama Strategi & Taktik Membela Perkara di Pengadilan Agama. Malang: Setara Press, 2009.

Rasyid, Roihan.  Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta:  PT. Raja Grafindo Persada. 1995.






[1] Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), 142
[2] Afandi Mansur, Peradilan Agama Strategi & Taktik Membela Perkara di Pengadilan Agama (Malang: Setara Press, 2009), 158
[3][3] Mukti Arto, Peraktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004 ), 140
[4] Roihan, Hukum Acara, 152.
[5] Afandi, Peradilan Agama, 168.
[6] Roihan, Hukum Acara, 153-155
[7] Afandi, Peradilan Agama, 170-173.
[8] Mukti Arto, Peraktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama ,.165
[9] Ibid . , 173-174.
[10] Roihan, Hukum Acara,. 160
[11] Rasyid, Hukum Acara, 160-162.
[12] Mansyur, Peradilan, 178.
[13] Ibid ,. 179
[14] Ibid ,. 180
[15] Mukti Arto, Peraktek Perkara Perdata,. 174.
[16] Ibid ,. 174.
[17] Ibid ,. 177
[18] Mansyur, Peradilan, 181
[19] Mukti Arto, Peraktek Perkara Perdata,. 177 - 183
[20]  Ibid., 177-183.
[21]  Ibid., 184.
[22] Ibid.,
[23] Ibid,. 185.
[24] Ibid.,
[25] Ibid., 188.
[26] Ibid., 189.

[27] Ibid., 190-191.