Memantapkan Peran Koperasi Syariah
Dalam perkembangannya,
mulai banyak bermunculan metamorfosa sistem perkoperasian di negeri kita, ada
koperasi simpan pinjam, koperasi serba usaha, koperasi konsumen, koperasi
produsen, koperasi jasa dan sebagainya. Pada akhir milenium ke dua di negeri
kita muncul bentuk koperasi baru yang kita kenal saat ini sebagai koperasi
syariah.
Dewasa ini koperasi
syariah menjadi trend di masyarakat dan digadang-gadang sebagai salah satu
alternative pembiayaan usaha rakyat yang muncul dari metamorfosa antara sistem
perkoperasian yang sudah berjalan lama di Indonesia dan bentuk mikro dari bank
syariah. Dalam aplikasinya memang kita dapati kesamaan karakteristik pengamalan
pada koperasi syariah atau dengan bentuk semisal dan lebih dikenal oleh
masyarakat luas dari tahun 1990-an yaitu Baitul Maal Wa Tamwil (BMT).
BMT dalam aplikasinya
menerapkan fungsi simpan pinjam layaknya pada koperasi dengan menggunakan
instrumen produk yang sedikit banyaknya mengacu pada modernisasi produk
perbankan, khususnya perbankan syariah. BMT dalam perkembangannya telah
terbukti banyak memberikan kontribusi yang cukup besar pada perkembangan dan
penguatan ekonomi pada usaha mikro kecil dan menengah.
Secara historis BMT
pertama kali dikenal pada tahun 1992, jumlah BMT di seluruh Indonesia saat ini
telah mencapai lebih dari 3.307 unit yang tersebar di seluruh propinsi di
Indonesia. Asset BMT diperkirakan lebih dari Rp 1,5 triliun, melayani lebih
dari 2 juta penabung (anggota) dan memberikan pinjaman terhadap 1,5 juta
pengusaha mikro dan kecil. BMT sebanyak itu telah mempekerjakan tenaga
pengelola lebih dari 21.000 orang. Berdasarkan kajian Kantor Mennegkop dan UKM,
lembaga keuangan mikro hanya mampu melayani 2,5 juta dari 39 juta pelaku UMKM.
Dana yang mampu disediakan pun hanya sekitar 6 persen dari kebutuhan pembiayaan
UMKM. Karenanya, Indonesia masih memerlukan lebih dari 8.000 unit LKM baru.
Tentu ini merupakan tantangan yang harus segera dijawab.
Terlepas dari pesatnya
perkembangan BMT atau koperasi syariah, lembaga ini masih perlu banyak
pembenahan dan penguatan yang dapat menopangnya. Apalagi dengan adanya beberapa
kasus moral hazard yang muncul dari pengurus maupun pengelola koperasi
syariah dan metode interaksi yang masih cenderung kurang bijak dalam menyikapi
anggota di beberapa koperasi syariah. Sebagai contoh adalah kasus bunuh diri
yang sempat menarik perhatian para praktisi koperasi syariah dan lembaga
terkait maupun masyarakat. Dalam pemberitaan salah satu media massa dikatakan
bahwa bunuh diri ini dilakukan karena anggota dari salah satu koperasi syariah
tersebut merasa di bawah tekanan pembayaran hutang yang jumlahnya tidak terlalu
banyak namun dengan penyikapan dari pihak koperasi yang terlalu menekan bahkan
akan diajukan ke meja hijau jika tidak dapat membayar lagi.
Kejadian tersebut tidak
selayaknya terjadi pada sebuah koperasi yang berlandaskan syariah jika
sumberdaya manusia di dalamnya dapat menyesuaikan kondisi lapangan. Tentu ini
tidak serta merta ini kesalahan koperasi, tapi paling tidak ini menjadi catatan
yang harus segera diperbaiki, tidak hanya pada satu koperasi yang bersangkutan,
tapi pada sistem koperasi syariah secara umum.
Oleh karena itu, usaha
pemantapan peran koperasi syariah tidak hanya mengacu pada kemampuan koperasi
syariah dalam memberikan kebutuhan modal pada anggota, tapi lebih dari itu,
koperasi syariah diharapkan menjadi salah satu pelengkap kebutuhan ekonomi
anggotanya selayaknya hubungan keluarga.
Tentu kita masih ingat
asas utama dalam peletakan fondasi koperasi adalah asas kekeluargaan. Hal ini
dapat kita telusuri dalam amanat undang-undang dasar 1945 Pasal 33 ayat 1. Asas
inilah yang harus tetap dipegang oleh segenap praktisi koperasi. Yang perlu
dipahami bersama dalam asas ini adalah bahwa segala bentuk implementasi ekonomi
pada koperasi diharapkan melalui proses musyawarah, adil, dan untuk tujuan
kesejahteraan bersama. Asas ini sebenarnya dapat kita temui pada landasan
koperasi syariah yang mengakar pada konsep sistem ekonomi syariah itu sendiri
yaitu nilai moral. Aturan syariah sebagai konsekuensi logis dari aqidah
bertujuan untuk membentuk moralitas dan akhlak yang mulia. Inilah yang perlu
dipahami bersama dalam berkoperasi maupun berinteraksi secara umum. Apabila
asas ini sudah mengakar pada pola piker SDM yang ada di koperasi syariah,
secara tidak langsung ini menjadi poin penting dalam pemantapan kinerja
koperasi syariah yang sudah menjamur di negeri kita ini.
Usaha pemantapan
koperasi syariah berikutnya adalah sinergisitas pengawas manajemen dengan
pengawas syariah. Tidak sedikit koperasi kecolongan karena tidak
sempurnanya dua pengawasan di atas. Dari segi syariah mungkin sudah memenuhi
syarat, namun dari segi manajemen masih carut marut, sehingga membuka peluang
kecurangan dan kesalahan besar dalam praktiknya. Oleh karena itu, bentuk
manajemen harus berbanding lurus dengan perkembangan aturan syariah di dalam
pelaksanaannya.
Usaha pembenahan ini
diharapkan dapat didukung oleh segenap masyarakat Indonesia khususnya para
praktisi koperasi syariah dan pemerintah yang berwenang. Pada akhirnya, mengacu
pada rumusan Hatta dan segenap pendiri bangsa ini dalam amanah UUD 1945, mari
kita wujudkan dengan masyarakat yang maju, adil, dan makmur bersama-sama.
Sumber: Pemerhati fenomena sosial ekonomi, politik, dan budaya Aktivis dakwah
kampus dan Mahasiswa Ekonomi Islam, FIAI UII Yogyakarta oleh sulis tyoningsih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar