BAB
I
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pembuktian
Yang dimaksud dengan pembuktian
adalah menyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang
dikemukakan di muka sidang dalam suatu persengketaan. Jadi membuktikan itu
hanyalah dalam hal adanya perselisihan sehingga dalam perkara perdata di muka
pengadilan, terhadap hal-hal yang tidak di bantah oleh pihak lawan, tidak
memerlukan untuk dibuktikan.[1]
Menurut Roihan A. Rasyid berpendapat bahwa
alat bukti atau pembuktian adalah alat atau upaya yang bisa dipergunakan oleh
pihak-pihak yang berperkara untuk menyakinkan hakim di muka pengadilan. Di
pandang dari sudut hakim memeriksa perkara, alat bukti artinya alat atau upaya
yang bisa dipergunakan oleh hakim untuk memutus perkara. Jadi alat bukti
tersebut dapat dipergunakan oleh pencari keadilan dan pengadilan.[2]
Tujuan pembuktian adalah untuk memperoleh
kepastian bahwa suatu peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar – benar
terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil.[3]
Hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa fakta atau peristiwa yang
diajukan itu benar – benar tejadi, yakni dibuktikan kebenarannya, sehingga
Nampak adanya hubungan hukum antara para
pihak.
A. Bukti Surat
Alat bukti surat-surat atau tulisan
ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk
menyampaikan buah fikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Dengan
demikian maka segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan, atau
meskipun memuat tanda-tanda bacaan akan tetapi tidak mengandung buah fikiran,
bukanlah termasuk pengertian alat bukti tertulis atau surat-surat.[4]
Dalam praktek di pengadilan dalam
peradilan agama. Alat-alat bukti yang diterapkan adalah sama dengan yang diatur
dalam pasal 138, 164, 165, 167 HIR (Pasal 285-305 Rbg, Pasal 1867-1894 BW).
Akta sebagai alat bukti diakui keberadaanya oleh hakim-hakim pada peradilan agama. Sebab Al-Qur’an
mengakui keberadaan akta (surat) ini sebagai alat bukti, sebagai mana dalam
surat Al-Baqarah ayat 282, yang artinya:
“ Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermuamalat (melakukan hubungan-hubungan keperdataan) tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah
seseorang menulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah
menulis engan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlaknya (mendektekan atau
membacakannya) apa yang akan ditulis itu dan hendaklah ia bertaqwa kepada tuhannya,
dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang
itu orang yang lemah akalnya atau (keadaanya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur”.[5]
Surat-surat sebagai alat bukti tertulis
terbagi kepada “akta” dan “selain akta”. Akta ialah suatu tulisan yang memang
dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan
ditandatangani. Contoh akta ialah surat perjanjian jual-beli, surat perjanjian
sewa-menyewa, kuitansi pembayaran, akta nikah dan lain-lain, karena ia dibuat
untuk bukti dan ditandatangani.
Akta itu terbagi mnjadi “akta otentik” dan
“akta bukan otentik”
a. Akta Otentik
Akta otentik adalah akta yang
dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu, menurut ketentuan
tertentu yang telah ditetapkan. Sebagai pejabat yang berwenang yang dimaksudkan
adalah Notaris, Juru Sita, Panitera dan Hakim Pengadilan, Pegawai Catatan
Sipil, Pegawai Pencatat Nikah (PPN), Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Pejabat
Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dan lain-lain.
Menurut pasal 1868 BW, akta otentik
tersebut ada yang dibuat “oleh pejabat yang berwenang” dan ada yang dibuat “di
hadapan pejabat yang berwenang”. Dibuat “oleh” apabila pejabat yang berwenag
tersebut membuat tentang apa yang dilakukannya, misalnya juru sita pengadilan
membuat berita acara pemangilan pihak-pihak berperkara. Dibuat “dihadapan”
ialah apabila pejabat yang berwenang tersebut menerangkan apa yang dilakukan
oleh orang lain tersebut dan sekaligus meletakkannya didalam suatu akta.
Akta otentik mempunyai kekuatan
bukti yang sempurna atau mengikat, baik bagi pihak-pihak maupun bagi ahli
warisnya atau bagi orang-orang yang memperoleh hak daripadanya, artinya hakim
harus menganggapnya benar serta tidak memerlukan pembuktian lain, kecuali
memang dapat dibuktikan tentang ketidak benarannya (tentunya denga alat bukti
lain dan alasan yang lebih kuat).
b. Akta di Bawah Tangan (Akta Bukan
Otentik)
Akta dibawah tangan atau akta bukan
otentik adalah segala tulisan yang memang sengaja dibuat untuk dijadikan bukti
tetapi tidak dibuat dihadapan atau oleh pejabat yang berwenang untuk itu dan
bentuknya pun tidaklah pula terikat kepada bentuk tertentu.
Kekuatan akta bukan otentik, hakim
menilainya bebas, akan tetapi jika akta yang bersifat dibuat oleh ke dua belah
pihak, seperti jual beli tanah yang bukan otentik, apabila tanda tangan yang
tercantum di dalamnya diakui oleh pihak yang menandatanganninya maka akta
tersebut mempunyai kekuatan sama dengan akta otentik, tetapi tetap masih
mempunyai perbedaan dengan akta otentik. Akta otentik berlaku bagi ke dua belah
pihak, bagi pihak ketiga dan bagi siapapun juga, sedangkan akta di bawah tangan
tadi hanya berlaku bagi kedua belah pihak, bagi ahli warisnya dan bagi orang
yang memperoleh hak daripadanya, tidak untuk pihak ke tiga dan semua oarng
lainnya.[6]
B. Saksi
1. Pengertian Kesaksian
Sudikno
Mertokusumo berpendapat, bahwa kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada
hakim dipersidangan mengenai peristiwa yang disengketakan dengan jalan
memberitahukan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak
dalam perkara, yang dipanggil dipersidangan.
Dalam Hukum
Acara Perdata Islam kesaksian disebut “syahadat”
yang berasal dari kata “ Musyahadah
“, yaitu menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Syahadah dibedakan antara “ Syahid “ (saksi laki-laki) dan “ Syahidah “ (saksi perempuan).
Kebanyakan ahli
hukum islam menyamakan “Syahadah” (kesaksian) dengan “Bayyinah” (alat-alat
bukti). Apabila kesaksian disamakan dengan alat-alat bukti, berarti pembuktian
dimuka peradilan islam atau peradilan agama hanya mungkin dengan saksi saja,
sebab Rasulullah SAW mengatakan “ al
bayyinatu ‘ala al mudda’l wa al yamin ‘ala man ankar”, yang artinya jika
bayyinah diartikan sebagai kesaksian “saksi dibebankan kepada penggugat dan
sumpah dibebankan kepada tergugat”.[7]
Jadi saksi ialah
orang yang memberikan keterangan dimuka sidang, dengan memenuhi syarat – syarat
tertentu, tentanh suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia
alami sendiri sebagai bukti terjadi peristiwa atau keadaan tersebut.[8]
2. Syarat Saksi dan Kesaksiannya
Seorang
saksi di dalam memberikan keterangan atau kesaksiannya harus terang dan jelas,
serta kesaksiannya itu merupakan mengenai peristiwa yang dialami sendiri dan
bukan diperoleh atau didengar oleh orang lain.
Saksi
disyaratkan seseorang yang telah dewasa dan berakal sehat serta adil. Disyaratkan
saksi yang telah dewasa dan berakal sehat telah dapat mempertanggung jawabkan
segala ucapan dan perbuatannya secara mandiri dihadapan tuhan. Demikian pula
saksi yang disyaratkan seorang yang adil, sebab keadilan para saksilah yang
menyebabkan hakim menerima atau menolak kesaksian.
Seorang
saksi juga disyaratkan beragama islam, namun dalam perkara tertentu dalam
AL-Qur’an Surat Al-Baqoroh ayat 282
yaitu,” dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki (diantaramu), juga
dalam Surat Al-Maidah ayat 106 yaitu: “ jika kamu menghadapi kematian, sedang
kamu akan berwasiat, maka hendaklah (wanita itu) disaksikan dua orang yang adil
diantara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam
perjalanan di muka bumi (musyafir) lalu kamu ditimpa bahaya kematian”.
Yang dimaksud
dengan kata “diantaramu” dalam Al-Qur’an tersebut adalah orang-orang yang
beragama islam, jadi pada hakekatnya seorang saksi harus berasal dari golongan
orang-orang islam, kecuali terhadap perkara wasiat dalam perjalanan
diperbolehkan penggunaan saksi yang tidak beragama islam.[9]
Bukti saksi diatur dalam pasal 168 – 172 HIR/ pasal 165 – 179 RBg.
3. Variasi Alat Bukti Saksi
Hukum asal saksi
sebagai alat bukti, cukup 2 orang lelaki sebagaimana sudah dijelaskan, tetapi
dalam bebeapa jenis perkara, nampaknya alat bukti ini bervariasi, seperti:[10]
a) Dalam perkara zina atau tuduhan zina,
saksinya 4 oarang lelaki yang beragama islam.
b) Jika menuduh istri sendiri telah berzina
(tidak berlaku bagi tuduhan terhadap perempuan selain istri) tetapi tidak mampu
mendatangkan 4 orang saksi lelaki yang beragama islam, dapat dibuktikan dengan
suami mengucapkan sumpah li’an.
c) Pembuktian saksi bagi wasiat harta dalam
perjalanan (musafir) oleh 2 orang lelaki yang beragama islam, atau oleh seorang
lelaki bersama 2 orang perempuan beragama islam semua, atau boleh oleh 2 orang
lelaki yang bukan beragama islam, atau oleh seorang lelaki bersama 2 orang
perempuan yang semuanya bukan beragama islam.
d) Pembuktian perkara hudud selain zina,
termasuk hudud qisas badan atau qisas jiwa, dengan 2 orang saksi lelaki yang
beragama islam.
e) Pembuktian saksi yang terdiri cukup oleh
seorang lelaki bersama 2 orang perempuan yang beragama islam, yaitu dalam
perkara harta benda, perkawinan, wasiat, hibah, waqaf, iddah, perwakilan,
perdamaian, pengakuan, pembebasan, dll.
f) Pembuktian dengan perempuan semua, 2
orang atau 4 orang dalam perkara-perkara yang lazimnya hanya diketahui leh
perempuan, seperti tentang keperawanan, susuan,dll.
Dasar yang
mengatakan dengan 2 orang perempuan karena di jenis perkara seperti itu
pengetahuan perempuan sama dengan pengetaahuan lelaki sedangkan dasar yang
mengatakan 4 orang perempuan karena Rasulullah SAW mengatakan bahwa
kesaksian
perempuan setengah kesaksian lelaki.
g) Pembuktian dengan seorang saksi ditambah
sumpah dari pihak yang memiliki saksi itu (al yamin ma’a asy syahid).
h) Ada pula ahli hukum islam yang
membolehkan pembuktian dengan seorang saksi saja, yaitu dalam kesaksian awal
bulan ramadhan.
i)
Ada
pula ahli hukum islam yang membolehkan pembuktian hanya denga seorang perempuan
saja terdapat jenis-jenis perkara yang tersebut di butir f diatas.[11]
4. Sumpah Bagi Saksi
Menurut
Mazhab Hanafi, seorang saksi sebelum memberikan kesaksiannya tidak perlu lagi
disumpah, sebab lafal kesaksiannya itu sendiri mengandung arti sumpah, yaitu
didalamnya terkandung kata “billahi”
(demi Allah).
Mazhab
Maliki dan sebagian ahli hukum islam lainnya membolehkan saksi itu disumpah.
Mengingat keadilan saat ini telah banyak diragukan. Sehingga kesaksiannya perlu
dikuatkan dengam sumpah. Demikian pula Ibnu Al-Qoyyim al Jauziyah membolehkan
hakim menyuruh saksi untuk bersumpah jika ia ragu-ragu akan kebenaran
keterangan saksi.
Mengingat
saksi dalam pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama mungkin saja bukan
orang islam seperti dalam perkara wasiat dalam perjalanan, maka lafad sumpah
harus dilakukan menurut agamanya masing-masing. Menurut agama islam redaksi
sumpah itu harus mengandung kata “billahi” (demi allah) dan bukan lainnya.
Dalam
pemeriksaan saksi dipersidangan, hakim harus memisahkan masing-masing saksi,
sehingga antara saksi dengan saksi lainnya tidak akan saling mendengar.dalam
peradilan islam, Khalifah Ali bin Abi Thalib lah yang pertama kali melakukan
pemeriksaan terhadap saksi tidak bersama-sama, melainkan memeriksanya satu demi
satu. Ibnu Al Qoyyim dalam hal ini juga membolehkan hakim memisah pemeriksaan
terhadap saksi-saksi yang demikian tersebut.[12]
5. Nilai Kekuatan Pembuktian Saksi
Pada
umumnya nilai kekuatan pembuktian dari alat bukti saksi dalam Hukum Acara
Perdata Islam adalah bebas, dalam arti terserah kepada hakim, apakah ia akan
mempercayainya atau tidak.[13]
Demikian
pula yamin (sumpah) dan nukul (menolak sumpah) dimasukkan kedalam alat bukti
sumpah, sebab pada hakekatnya nukul itu tidak lain berkaitan dengan sumpah,
sedangkan qasamah (bersumpah 50 orang) tidak dimasukkan dalam alat bukti sumpah,
sebab biasanya digunakkan dalam perkara pidana islam, sehinga idak ada
relevansinnya dengan kompetensi peradilan agama di Indonesia. Disamping itu
dimasukkan pula sumpah lian sebagai bagian dari alat bukti sumpah.
Alat
bukti lain yang berlaku di Peradilan Agama adalah pemeriksaan setempat
(descente) dan ketereangan ahli (ekspertise). Dasar pemeriksaan setempat
sebagai alat bukti adalah berdasarkan qiyas ( analogi ) terhadap pasal 153 HIR
(pasal 180 Rbg) dan untuk kebutuhan praktik pengtadilan.
Penerappan
alat – alat bukti tersebut oleh peradilan agama yang sesuai dengan peradilan umum,
pada hakekatnya tidak bertentangan dengan hukum acara perdata. Menurut Hasbi
Ash Shiedieqy alat bukti yang terpokok yang diperlukan dalam soal gugat
menggugat hanya 3 saja yaitu:[14]
a. Iqrar (pengakuan)
b. Syahadat (kesaksian)
c. Yamin (sumpah)
c. Bukti Persangkaan
Persangkaan ialah kesimpulan yang
ditarik dari suatu peristiwa yang telah dikenal atau dianggap terbukti kearah
suatu peristiwa yang tidak dikenal atau belum terbukti, baik yang berdasarkan
undang – undang atau kesimpulan yang ditarik oleh hakim.[15]
Persangkaan diatur dalam pasal 173 HIR, 1916 BW.
Ada
2 macam bentuk persangkaan:[16]
a. Persangkaan yang berupa kesimpulan
berdasarkan undang – undang.
b. Persangkaan yang berupa kesimpulan yang
ditarik oleh hakim dari keadaan yang timbul dipersidangan.
Syarat – syarat
bukti persangkaan hakim
Persangkaan
merupakan dugaan hakim, tentang dugaan hakim dan kesimpulan yang ditarik hakim
maka ada lima syarat yaitu:
1. Dugaan menggenai suatu kejadiaan harus didasarkan
atas hal – hal yang telah terbukti.
2. Hakim harus berkeyakinan bahwa hal – hal
yang telah terbukti itu dapat menimbulkan dugaan terhadap terjadinya sesuatu
peristiwa yang lain.
3. Hakim dalam mengambil dari bukti – bukti
itu tidak boleh mendasarkan keputusannya atas hanya satu dugaan saja.
4. Dugaan atau pers angkaan itu harus
bersifat penting, seksama, tertentu dan ada hubungannya satu sama lain.
5. Persangkaan semacam ini hanya boleh
diperhatikan dalam hal undang – undang membolehkan pembuktian dengan saksi.
D. Bukti pengakuan
Pengakuan
adalah pernyataan seseorang tentang dirinya sendiri, bersifat sepihak dan tidak
memerlukan persetujuan pihak lain.[17]
Pengakuan sebagai alat bukti diatur dalam pasal 174, 175, 176 HIR, pasal 311,
312, 313 Rbg dan pasal 1923 – 1928 BW.
Dasar Pengakuaan
sebagai alat bukti menurut acara peradilan peradilan islam antara lain: surat
an Nisa’ ayat 135 yanng artinya, “hai
orang – orang yang beriman, jadilah kamu orang – orang yang benar – benar penegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri” . orang menjadi saksi atas dirinya sendiri
adalah dengan pengakuan.[18]
Pengakuan
menurut hukum acara perdata islam adalah alat bukti yang terkuat. Pengakuan
dapat diberikan dimuka hakim dipersidangan atau diluar persidangan. Selain itu,
pengakuan dapat pula diberikan secara tertulis maupun lisan didepan sidang.ada
beberapa macam bentuk pengakuan yaitu:[19]
a. Pengakuan murni dimuka sidang
Pengakuan murni
ialah pengakuan yang bersifat sederhana dan sesuai sepenuhnya dengan tuntutan
pihak lawan. Pengakuan merupakan
pernyataan yang tegas. Pengakuan murni dimuka sidang merupakan bukti yang
sempurna terhadap yang melakukannya, dan bersifat menentukan karena tidak
memungkinkan pembuktian lawan.
b. Pengakuan dengan kualifikasi
Pengakuan dengan
kualifikasi ialah pengakuan yang disertai dengan sangkalan terhadap sebagian
dari tuntutan. Pengakuan yang seperti ini haruslah diterima seutuhnya dan tidak
boleh dipisah – pisahkan sehingga merugikan pihak yang member pengakuan.
c. Pengakuan dengan clausula
Pengakuan dengan
clausula adalah suatu pengakuan yang disertai dengan keterangan tambahan yang
bersifat membebaskan.
d. Pengakuan tertulis
Ada dua
kemungkinan dalam pengakuan yang diberikan secara tertulis oleh tergugat:
1. Tergugat hadir didepan sidang dan
2. Tergugat tidak hadir didepan sidang
Apabila
tergugat hadir didepan sidang dan memberikan pengakuan secara tertulis maka
dapat dikategorikan kepada tiga macam pengakuan tersebut yaitu:
1. Pengakuan murni
2. Pengakuan dengan kualifikasi
3. Pengakuan dengan clausula
e. Pengakuan lewat kuasa hukum/ wakil
Pengakuan yang
diberikan lewat kuasa hukum/ wakil yang memang dikuasakan untuk itu, nilainya
sama dengan pengakuan yang diberikan oleh tergugat pribadi.
f. Pengakuan lisan diluar sidang
Yaitu suatu
pengakuan yang diucapkan oleh salah satu pihak dalam perkara perdata untuk
membenarkan pernyataan yang diberikan oleh pihak lawannya.
g. Pengakuan dalam sengketa perkawinan
Dalam sengketa
perkawinan, pengakuan pihak mempunyai spesifikasi tersendiri dalam dalam hukum
pembuktian, lebih – lebih lagi dalam perkara perceraian.[20]
E. BUKTI SUMPAH
Sumpah
ialah suatu pernyataan yang diberikan atau di ucapkan pada waktu member janji
atau keterangan dengan mengingat sifat maha kuasa tuhan dan percaya bahwa siapa
yang member keterangan atau janji yang tidak benar akan di hukum olehnya.[21]
Ada dua (2)
macam sumpah:
1. Sumpah/ janji untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu yang disebut sumpah
promissoir.
2.
Sumpah/
janji untuk memberi keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu itu benar demikian
atau tidak benar, yang disebut sumpah
assertoir atau confirmatoir.
Sumpah promissoir
dilakukan oleh saksi atau ahli (juga juru bahasa dan hakim), dengan ciri-ciri:
a. Sumpah diucapkan sebelum mereka
memberikan keterangan / melakukan sesuatu.
b. Sumpah berfungsi sebagai syarat formil
sahnya suatu keterangan / tindakan.
c. Sumpah ini bukan merupakan alat bukti.
d. Sumpah ini tidak mengakhiri sengketa.
Sumpah assertoir (confirmatior) dilakukan oleh
para pihak dalam perkara, dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a.
Sumpah
diucapkan sesudah mereka memberi keterangan atau melakukan sesuatu.
b.
Sumpah
berfungsi untuk meneguhkan suatu peristiwa atau hak.
c.
Sumpah
ini termasuk alat bukti.
d.
Sumpah
mengakhiri sengketa.[22]
Rincian
Macam-Macam sumpah Promissoir dan sumpah Assertoir.
a. Sumpah Promissoir
1)
Sumpah
Jabatan
2)
Sumpah
Pegawai Negeri Sipil
3)
Sumpah
Saksi
4)
Sumpah
Ahli
5)
Sumpah
Tolk (juru bahasa)
6)
Sumpah
Hakam[23]
b. Sumpah assertoir (confirmatoir)
1)
Sumpah
Suppletoir (pelengkap)
2)
Sumpah
decissoir (pemutus)
3)
Sumpah
Penaksir
4)
Sumpah
Li’an
5)
Sumpah
Istidhhar (Yaminul istidhhar)[24]
Pembuktian
dengan sumpah
1. Tata cara sumpah Suppletoir
Sumpah
suppletoir adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada
salah satu pihak yang berperkara untuk melengkapi pembuktian peristiwa atau hak
yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya.[25]
Sumpah dilakukan dengan tata cara
yang diatur dalam pasal 157,158 HIR sebagai berikut:
a.
Sumpah
harus dilakukan di depan sidang pengadilan
b.
Pada
sidang pengucapan sumpah harus dihadiri oleh pihak lawan, kecuali dalam hal
pihak lawan telah dipanggil untuk itu tetapi tidak hadir tanpa alasan yang sah
dan tidak pula mewakilkan kepada orang lain untuk hadir.
c.
Sumpah
harus diucapkan sendiri oleh pihak yang bersangkutan atau oleh wakilnya.
d.
Bunyi
sumpah harus sesuai dengan yang diperintahkan oleh hakim.
Kekuatan pembuktian sumpah suppletoir
bersifat:
a.
Menyelesaikan
perkara
b.
Memiliki
kekuatan pembuktian sempurna
c.
Masih
memungkinkan adannya bukti lawan
d.
Dapat
dibatalkan dengan putusanhakim yang lebih tinggi
e.
Apabila
sumpah itu terbukti palsu, maka dapat dijadikan alasan mohon peninjauan kembali
kepada Mahkamah Agung.[26]
2. Tata cara sumpah decisoir
Sumpah
decisoir adalah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak kepada
lawannya (pasak 156 HIR, pasal 183 RBg, pasal 1930 BW)
Syarat-syarat dapat dikabulkan
permintaan sumpah decisoir, ialah:
a.
Dapat
dikabulkan mengenai berbagai hal peristiwa yang menjadi sengketa.
b.
Bukan
mengenai pelbagai pendapat tentang hukum atau hubungan hukum.
c.
Harus
mengenai perbuatan yang dilakukan sendiri oleh pihak yang disuruh bersumpah
atau bersama-sama pula dengan pihak yang meminta sumpah.
d.
Bunyi
sumpah harus sesuai dengan hal/peristiwa yang menjadi sengketa, sehingga
benar-benar bersifat memutus.
Sumpah dilakukan menurut tatacara
yang diatur dalam pasal 157,158 HIR/185 RBg sebagai berikut:
a.
Sumpah
harus dilakukan di depan sidang pengadilan, kecuali dalam hal hakim, atas
permintaan deferent atau kuasannya, menetapkan lain.
b.
Sumpah
harus diucapkan sendiri oleh delaat, kecuali jika diwakilkan kepada orang lain.
c.
Bunyi
sumpah harus sesuai dengan yang diminta deferent.
d.
Pengucapan
sumpah harus dihadiri pihak lawan, kecuali dalam hal telah dipanggil dengan
patut namun tidak hadir dalam sidang tanpa sesuatu alasan yang sah.[27]
BAB II
KESIMPULAN
Dari
pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
1. pembuktian adalah menyakinkan hakim
tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan di muka sidang dalam
suatu persengketaan. Jadi membuktikan itu hanyalah dalam hal adanya
perselisihan sehingga dalam perkara perdata di muka pengadilan, terhadap
hal-hal yang tidak di bantah oleh pihak lawan, tidak memerlukan untuk
dibuktikan.
2. Alat bukti surat-surat atau tulisan ialah
segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk
menyampaikan buah fikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.
3. Dalam persaksian terdapat hal-hal berikut:
a.
Syarat
saksi dan kesaksiannya
b.
Kewajiban
saksi
c.
Golongan
yang dianggap tidak mampu menjadi saksi
d.
Variasi
alat bukti saksi
e.
Sumpah
bagis saksi
f.
Nilai
kekuatan pembuktian saksi.
4. Ada 2 macam bentuk persangkaan:
a. Persangkaan yang berupa kesimpulan
berdasarkan undang – undang.
b. Persangkaan yang berupa kesimpulan yang
ditarik oleh hakim dari keadaan yang timbul dipersidangan.
DAFTAR
PUSTAKA
Arto, Mukti. Peraktek Perkara Perdata Pada Pengadilan
Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.
Mansur, Afandi. Peradilan Agama Strategi & Taktik
Membela Perkara di Pengadilan Agama. Malang: Setara Press, 2009.
Rasyid, Roihan.
Hukum Acara Peradilan Agama.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
1995.
[2] Afandi
Mansur, Peradilan Agama Strategi &
Taktik Membela Perkara di Pengadilan Agama (Malang: Setara Press, 2009),
158
[3][3] Mukti Arto, Peraktek Perkara
Perdata Pada Pengadilan Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004 ), 140
[8] Mukti Arto, Peraktek Perkara
Perdata Pada Pengadilan Agama ,.165
[12] Mansyur, Peradilan, 178.
[13] Ibid ,. 179
[14] Ibid ,. 180
[15] Mukti Arto, Peraktek Perkara
Perdata,. 174.
[16] Ibid ,. 174.
[17] Ibid ,. 177
[18] Mansyur, Peradilan, 181
[19] Mukti Arto, Peraktek Perkara
Perdata,. 177 - 183
[20] Ibid., 177-183.
[21] Ibid., 184.
[22] Ibid.,
[23] Ibid,. 185.
[24] Ibid.,
[25] Ibid., 188.
[26] Ibid., 189.
[27] Ibid., 190-191.